“Iman, ibarat listrik yang tiada berwujud
namun mengalirkan energi cahaya yang bergantung pada kuat atau lemahnya daya
yang dikeluarkan. Jika dayanya besar dan kuat, maka cahaya yang dipancarkan
akan semakin terang menembus kegelapan. Namun, bila daya yang dimiliki begitu
lemah, jangankan menerangi sekitarnya, menerangi dirinya pun kesulitan. Itulah
iman”
Sejak kecil, sebagai seorang yang terlahir dari keluarga muslim, beragama
muslim sudah sangat sering dan tak tabu kita mendengar kata iman. Ya, Iman yang
dengan lantunan lafadz “Asyhadu An Laa Ilaaha Illa Allah Wa Asyhadu Anna
Muhammada Ar Rasulullah” kita tertuliskan sebagai seorang yang menganut
kepercayaan Islam. Sejak kecil pun kita telah diajarkan oleh para orang tua dan
sepuh kita bahwa iman singkatnya bermakna percaya dan meyakini tentang semua
hal yang di bawa oleh Rasul Mulia dari Bani Quraisy. Namun, Rasulullah tidak
hanya membawa kata Iman, namun juga Islam. Iman dan Islam bagaikan dua sisi
mata uang yang saling terkait satu sama lainnya dan tak terpisahkan.
Melihat fenomena perjalanan sejak kecil, kita cenderung lebih banyak
berbicara tentang Islam. Berbicara tentang islam berarti meninjau aspek
lahiriah tentang din ini, mulai dari shalat, sedekah zakat, haji, wakaf, puasa
dan lainnya, itu semua berbicara tentang islam. Kita sangat jarang berbicara
tentang aspek keimanan, yakni aspek yang berada dalam sanubari setiap muslim
yang berupa keyakinan. Sehingga menjadi tantangan setiap pribadi adalah agar
tidakmenjadi iman sekedar iman tanpa memiliki perasaan terhadap iman itu
sendiri. Sehingga penting kiranya kita sama – sama pelajari tentang iman. Agar
kiranya jangan kemudian tiba – tiba muncul perasaan atau bisikan baik berasal
dari setan maupun hawa nafsu yang dapat merusak iman itu sendiri.
Apa itu iman ? sering kita mendengar bahwa
iman bermakna percaya. Ya, itu tidak salah, namun sesuai dengan tempatnya, iman
itu di hati maka perlu kiranya kita benar – benar merasakan iman itu sendiri
dengan hati sanubari kita. Dalam beberapa hadits Rasul Al Musthofa menjelaskan
bahwa iman merupakan suatu pembenaran hati. Itulah petunjuk untuk kita semua,
iman merupakan pembenaran, ketundukkan dan penerimaan hati terhadap segala
sesuatu tentang Allah dan Rasul-Nya tanpa keraguan sedikitpun. Dalam Al-Qur’an
Allah memberikan sebuah petunjuk ; “Orang-orang Badwi itu berkata: Kami telah beriman. Katakanlah
(kepada mereka) kamu belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk,
karena iman itu belum masuk kedalam hatimu.” (Al Hujuraat:14 )
Iman merupakan sebuah ketundukan secara sukarela yang tiada dapat
dipaksakan. Sesuatu tidak dinamakan tunduk apabila keadaannya terpaksa, namun
hal itu dinamakan keterpaksaan. Karenanya, iman merupakan sebuah energi dan
sumber cahaya yang muncul dari mata air ketulusan dan keikhlasan. Telah dapat
di maklumi sebagaimana telah dijelaskan bahwa iman merupakan hal abstrak yang
hanya dapat dirasakan, sementara jasad kita merupakan sesuatu hal yang konkrit
atau nyata. Maka penting kemudian iman yang abstrak tersebut dinyatakan atau di
alirkan dalam sebuah bentuk pengikraran secara lisan dan pengamalan yang
sejatinya adalah wujud keislaman kita.
Dalam hal menjelaskan tentang keberadaan iman dalam sanubari kita,
Al-Maturidi dalam karyanya “At-Tauhid” membenarkan hal tersebut dengan dua pembuktian,
yakni pertama, berdasarkan penjelasan Al Qur’an Al Azhim sebuah ayat yang menerangkan tentang orang orang
munafik ialah: ”Orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman,"
padahal hati mereka belum beriman. Selain itu, firman
Allah Swt. ketika seorang suku Badui (A‘raby) mengaku telah beriman: ”Katakanlah (kepada mereka): ’Kamu belum beriman,’ tetapi katakanlah: ’Kami telah tunduk,’
karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”. Dari
kedua ayat al-Quran diatas terlihat jelas bahwa hakikat iman
berada di dalam hati. Seandainya iman adalah
bahasa lisan, tentu ketika Badui menyatakan keimanannya akan dibenarkan, tapi
ternyata hal itu disangkal. Kedua, berdasarkan pendekatan nalar (aqli).
Keimanan sebagai dasar agama mengharuskan kesinambungan antara nalar dan
nurani. Bersambung..
No comments:
Post a Comment