Sunday, 14 December 2014

Makna Iman



“Iman, ibarat listrik yang tiada berwujud namun mengalirkan energi cahaya yang bergantung pada kuat atau lemahnya daya yang dikeluarkan. Jika dayanya besar dan kuat, maka cahaya yang dipancarkan akan semakin terang menembus kegelapan. Namun, bila daya yang dimiliki begitu lemah, jangankan menerangi sekitarnya, menerangi dirinya pun kesulitan. Itulah iman”
Sejak kecil, sebagai seorang yang terlahir dari keluarga muslim, beragama muslim sudah sangat sering dan tak tabu kita mendengar kata iman. Ya, Iman yang dengan lantunan lafadz “Asyhadu An Laa Ilaaha Illa Allah Wa Asyhadu Anna Muhammada Ar Rasulullah” kita tertuliskan sebagai seorang yang menganut kepercayaan Islam. Sejak kecil pun kita telah diajarkan oleh para orang tua dan sepuh kita bahwa iman singkatnya bermakna percaya dan meyakini tentang semua hal yang di bawa oleh Rasul Mulia dari Bani Quraisy. Namun, Rasulullah tidak hanya membawa kata Iman, namun juga Islam. Iman dan Islam bagaikan dua sisi mata uang yang saling terkait satu sama lainnya dan tak terpisahkan.
Melihat fenomena perjalanan sejak kecil, kita cenderung lebih banyak berbicara tentang Islam. Berbicara tentang islam berarti meninjau aspek lahiriah tentang din ini, mulai dari shalat, sedekah zakat, haji, wakaf, puasa dan lainnya, itu semua berbicara tentang islam. Kita sangat jarang berbicara tentang aspek keimanan, yakni aspek yang berada dalam sanubari setiap muslim yang berupa keyakinan. Sehingga menjadi tantangan setiap pribadi adalah agar tidakmenjadi iman sekedar iman tanpa memiliki perasaan terhadap iman itu sendiri. Sehingga penting kiranya kita sama – sama pelajari tentang iman. Agar kiranya jangan kemudian tiba – tiba muncul perasaan atau bisikan baik berasal dari setan maupun hawa nafsu yang dapat merusak iman itu sendiri.
Apa itu iman ? sering kita mendengar bahwa iman bermakna percaya. Ya, itu tidak salah, namun sesuai dengan tempatnya, iman itu di hati maka perlu kiranya kita benar – benar merasakan iman itu sendiri dengan hati sanubari kita. Dalam beberapa hadits Rasul Al Musthofa menjelaskan bahwa iman merupakan suatu pembenaran hati. Itulah petunjuk untuk kita semua, iman merupakan pembenaran, ketundukkan dan penerimaan hati terhadap segala sesuatu tentang Allah dan Rasul-Nya tanpa keraguan sedikitpun. Dalam Al-Qur’an Allah memberikan sebuah petunjuk ; Orang-orang Badwi itu berkata: Kami telah beriman. Katakanlah (kepada mereka) kamu belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk kedalam hatimu.(Al Hujuraat:14 )
Iman merupakan sebuah ketundukan secara sukarela yang tiada dapat dipaksakan. Sesuatu tidak dinamakan tunduk apabila keadaannya terpaksa, namun hal itu dinamakan keterpaksaan. Karenanya, iman merupakan sebuah energi dan sumber cahaya yang muncul dari mata air ketulusan dan keikhlasan. Telah dapat di maklumi sebagaimana telah dijelaskan bahwa iman merupakan hal abstrak yang hanya dapat dirasakan, sementara jasad kita merupakan sesuatu hal yang konkrit atau nyata. Maka penting kemudian iman yang abstrak tersebut dinyatakan atau di alirkan dalam sebuah bentuk pengikraran secara lisan dan pengamalan yang sejatinya adalah wujud keislaman kita.
Dalam hal menjelaskan tentang keberadaan iman dalam sanubari kita, Al-Maturidi dalam karyanya “At-Tauhid” membenarkan hal tersebut dengan dua pembuktian, yakni pertama, berdasarkan penjelasan Al Qur’an Al Azhim sebuah ayat yang menerangkan tentang orang orang munafik ialah: ”Orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman," padahal hati mereka belum beriman. Selain itu, firman Allah Swt. ketika seorang suku Badui (A‘raby) mengaku telah beriman: ”Katakanlah (kepada mereka): ’Kamu belum beriman,’ tetapi katakanlah: ’Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”. Dari kedua ayat al-Quran diatas terlihat jelas bahwa hakikat iman berada di dalam hati. Seandainya iman adalah bahasa lisan, tentu ketika Badui menyatakan keimanannya akan dibenarkan, tapi ternyata hal itu disangkal. Kedua, berdasarkan pendekatan nalar (aqli). Keimanan sebagai dasar agama mengharuskan kesinambungan antara nalar dan nurani. Bersambung..

No comments:

Post a Comment